Monday, September 24, 2007

KBU... Jakarta Ribut, Bandung Masa Bodo, Kabupaten Bandung tidak peduli

Di saat di Kompas ribut-ribut mengenai kerusakan di KBU (Kawasan Bandung Utara), mungkin orang Bandung sendiri khususnya Pemkot Bandung berpikir.... "GITU SAJA KOQ RIBUT". Seberapa jauh masyakat Bandung peduli dengan kerusakan daerah tempat tinggal mereka sendiri.

Pada saat pindah ke kota Bandung tahun 1985, Bandung masih merupakan "kota kembang". Artinya, udaranya masih nyaman, bahkan, setiap pagi pada saat berjalan kaki ke sekolah melewati kampus ITB, di dalam lingkungan ITB masih berkabut. Udara masih dingin. Tidak lama, pada tahun 1988, kebetulan tempat kuliah terletak di Dago Atas, setiap jadwal kuliah kam 7, mahasiswa yang hadir sebelum jam 7 biasanya menyempatkan diri untuk berjemur, moyan, kata dalam bahasa Sunda, untuk menghangatkan diri.

Akhir tahun 1999, daerah yang dingin di kota Bandung sudah mulai bergeser. Sudah harus lebih tinggi, khususnya di daerah Dago Pakar, Setiabudhi ke arah Lembang. Artinya suhu udara rata-rata sudah mulai meningkat. Kenapa?

Ternyata, sederhana. Ada beberapa sebab yang meningkatkan suhu udara di kota Bandung. Yang pertama adalah meningkatnya kondisi perekonomian yang ditunjukkan dengan meningkatnya pembangunan fisik baik yang digunakan untuk kepentingan perdagangan, umum maupun meningkatnya jumlah perumahan. Akibatnya adalah berkurangnya jumlah lahan tutupan hutan maupun lahan hijau di kota Bandung.

Meningkatnya jumlah penduduk kota Bandung pada akhirnya menggeser posisi perumahan ke wilayah tetangga, yaitu wilayah Kabupaten Bandung, termasuk dengan meningkatnya pembangunan perumahan di kawasan Bandung Selatan dan Bandung Utara.

Peningkatan ini kemudian tidak didukung oleh masalah kedua yaitu pengawasan yang memadai. Kondisi KBU yang sebagian besar berada di kawasan Kabupaten Bandung, dengan ibukota kabupaten adalah Soreang merupakan daerah "merdeka", atau dengan kata lain bebas dari pengawasan. Hal ini disebabkan posisi Kabupaten Bandung yang berada di sekeliling kota Bandung. Posisi ibukota kota Bandung sendiri berada di daerah Selatan Tatar Bandung, dengan kata lain, setiap mau berurusan dengan wilayah KBU, pejabat kabupaten harus melalui kota Bandung untuk mencapai wilayah tersebut, demikian pula sebaliknya.

Pembangunan di Kawasan Bandung Utara (KBU) terjadi dengan pembangunan perumahan yang dilakukan secara besar-besaran diantaranya adalah "The Untouchables" Resort Dago Pakar, Kawasan Bukit Pakar Timur, Setiabudi Regency dan Punclut. Resort Dago Pakar dibangun dengan mengorbankan ratusan ribu pohon serta beberapa desa dan ratusan pemukiman penduduk. Yang sekarang diributkan kemudian adalah Punclut.

Lantas, bagaimana dengan yang lain? Salah satu perumahan di Kawasan Bukit Pakar Timur contohnya, pengembang sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pembatasan bangunan. Akhirnya bangunan yang seharusnya dibangun dengan persentase 30% dari luas tanah malah berkembang menjadi sebaliknya, luas bangunan 70%, sementara halaman hanya 30%.

Kemudian banyaknya lahan yang digunakan untuk perladangan. Pembukaan areal semak belukar menjadi ladang serta pemanfaatan tanah milik menjadi ladang atau kebun juga berpengaruh dalam menciptakan kondisi kerusakan di KBU itu sendiri.

Intinya... besar atau kecil, developer ataupun masyarakat ikut menciptakan kondisi kerusakan di KBU. Pendekatan struktural dan hukum serta pelaksanaan pengawasan harus ditegakkan. Akan tetapi mungkin? Tidak. Sebabnya, ada beberapa teori yang mendukung ketidakmampuan pejabat untuk melakukan penegakan hukum di KBU, diantaranya adalah:
Pertama, pemerintah Kabupaten Bandung tidak memiliki SDM yang memadai untuk melakukan pengawasan terhadap pembangunan di KBU,
Kedua, pemerintah Kabupaten Bandung tidak memiliki skema penataan ruang wilayah khususnya Kawasan Bandung Utara,
Ketiga, "backing" yang berada di Kawasan Resort Dago Pakar, yang diberi discount besar-besaran oleh Pengembang Resort Dago Pakar. Tidak hanya pejabat pemerintah Kabupaten, akan tetapi juga Pejabat Pemerintah Propinsi termasuk Aparat, bahkan beberapa pejabat di Jakarta.
Keempat, hubungan antara Istana Group dengan pemerintah kota Bandung serta dengan pemerintah Propinsi yang menguntungkan pihak pengembangan Setiabudhi Regency.

Punclut... wah, yang pasti sudah berdiri sebuah Internasional School.

Intinya, kalau pun terjadi sebuah kehancuran ekologis pada lingkungan Bandung, hal ini bukan saja disebabkan oleh developer, tetapi juga oleh masyarakat.

No comments: