Tuesday, March 20, 2007

Tower "Tangkuban Perahu"


Kalau kata orang Sunda, "Nu Amis-Amis" atau mungkin bisa diterjemahkan sebagai sesuatu yang manis-manis. Maksudnya yaitu trek atau jalur yang ringan dan yang lucu. Trek ini juga sebenarnya trek bermasalah, karena harus melalui kawasan Jayagiri, yang sudah kerap dibicarakan akan kerusakannya. Akan tetapi, kemarin Minggu, daripada menjadi masalah, maka kami berangkat melalui Lembang, terus masuk ke jalan Gunung Putri, dan dilanjutkan ke arah Tangkuban Perahu. Pada saat melintasi sisi atas Jayagiri dari Gunung Putri, ternyata tidak ada yang menjaga. Beberapa waktu yang lalu sih ada yang jaga, dan setiap kendaraan yang lewat diharuskan membayar Rp. 3.000,-.


Rombongan berangkat dari kawasan Resort Dago Pakar pada pukul 10.30. Agak siang memang, biasa ada yang bermasalah dengan bangun pagi. Untuk mempersingkat waktu, maka perjalanan dilakukan melalui Dago Bengkok ke arah Medu, belok melalui Pagerwangi dan langsung menuju Lembang. Dari Lembang perjalanan dilanjutkan ke arah Subang. Kira-kira 400 meter dari perempatan pasar Lembang, setelah tapal kuda maka rombongan memilih jalur Gunung Putri.


Karena banyaknya peserta, tiba di Warung di perempatan Jayagiri, waktu sudah menunjukkan pukul 12.00. Maklum ada yang masih baru, langsung Meggie Z (jatuh bangun). Jalur cukup lumayan, apalagi pada musim hujan. Jebakan berupa lumpur dan kubangan menjadi salah satu ciri khas jalur ini. selain itu, pada beberapa jalan mendaki, karena hujan, mau tidak mau, beberapa motor harus dibantu dengan cara di webbing, serta dibantu dorong. Akhirnya, rombongan tiba di sisi kawah Tangkuban Perahu sekitar pukul 16.00.


Setelah foto-foto di tengah kabut, maka rombongan melanjutkan perjalanan pulang melalui Sukawana. Rombongan terpisah dua, sebagian melalui Sukawana, dan sebagian lagi melalui perkebunan teh, masih di areal Perkebunan Sukawana juga. Lumayanlah, licin buangeet, sudah itu menurun lagi.


Setelah minum bandrek (lumayan membantu menghangatkan badan, maklum basah kuyup karena hujan) di depan pom bensin yang terdapat di Jalan Raya Parongpong, rombongan kembali ke Bandung melalui Lembang, Setiabudhi (macetnya minta ampun.... maklum long weekend). Tiba di Bandung, biasa, menyempatkan untuk makan di Surabi Enhaii... dan bubar. Jalan Setiabudhi masih macet parah, akhirnya pilihan dilakukan melalui jalur "trotoar" biar cepat sampe....





Tuesday, March 13, 2007

Curug Bentang



Curug Bentang adalah air terjun yang terdapat di Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang. Offroad atau Motoadventure dari Bandung ke Curug Bentang sebenarnya sudah dimulai beberapa tahun silam, seiring dengan pelaksanaan kegiatan Adventure Offroad oleh Trabas. Perjalanan menuju Curug Bentang merupakan perjalanan yang tidak terlalu jauh, akan tetapi memiliki variasi rute yang menarik dan ada beberapa rute yang cukup ekstrem.




Untuk mencapai Curug Bentang, para penggemar motoadventure dapat langsung menuju Lembang dan kemudian ke arah Maribaya. Dari Maribaya, persis di depan tempat parkir mobil, belok ke sebelah kiri memasuki rute Jalan Raya Cicalung. Jalan ini merupakan jalan aspal. Sampai di ujung jalan aspal, maka perjalanan dilakukan dengan sedikit offroad di jalan licin sampai ke Puncak Eurad. 150 meter dari Puncak Eurad, maka perjalanan dilanjutkan dengan offroad menuruni bukit hingga ke desa.


Sampai di desa, dengan menggunakan jalan batu, maka perjalanan dilanjutkan ke arah perkebunan (kalau tidak salah) Tambaksari. Wilayah ini biasanya merupakan tempat istirahat pertama dan mengisi bahan bakar. Setelah berisitirahat dan mengisi bahan bakar, maka perjalanan dilanjutkan ke arah Kp. Banceuy, Desa Sanca yang merupakan salah satu desa adat di kawasan Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang.


Kp. Banceuy menawarkan wisata budaya yang masih belum banyak diekspos seperti Kp. Naga di Garut ataupun Baduy. Posisi Kp. Banceuy agak tersembunyi. Di Kampung Banceuy yang luasnya lebih kurang 40 hektare dan berpenduduk 600 jiwa ini pewarisan nilai-nilai tersebut melalui upacara adat yang hingga kini masih dilaksanakan secara rutin. Ada dua upacara adat di Kampung Banceuy yang gaunya cukup besar, yakni ngabeungkat dan ngaruat lembur atau hajat bumi. Ngabeungkat diselenggarakan pada awal musim hujan, yaitu menyambut datangnya musim hujan sebagai tanda dimulainya bercocok tanam atau menggarap sawah.
Ngabeungkat dilaksanakan di dua tempat, di Solokan (sungai kecil) Eyang Ito dan di Solokan Padalingan. Sasajen (sesaji), seperti tangtang angin (kupat tipis yang bungkusnya terbuat dari daun kelapa), air kembang, dan sebagainya diletakkan di pinggir sungai. Setelah sebelumnya diadakan upacara ritual, kambing sebagai kurban disembelih. Darahnya dibuang ke selokan dan daging kambingnya dibagikan ke masyarakat. Ngabeungkat dimaksudkan untuk ngahuripkeun solokan (memakmurkan sungai), ngahuripkeun sawah, dan ngahuripkeun yang memiliki sawah.


Upacara ruatan lembur atau hajat bumi dilaksanakan pada pertengahan bulan Djulhizah (Rayagung) pada hari Rabu. Ruatan lembur cukup meriah diselenggarakan arak-arakan dengan menampilkan kesenian tradisional, misalnya gembyung, kliningan, dan sebagainya.
Dalam arak-arakan tersebut, konon, terdapat seekor kuda kosong tanpa ada yang menunggangi yang dianggap merupakan tunggangan leluhur. Meski kosong, kuda ini menurut beberapa masyarakat kelihatan sangat kelelahan sekali yang dipercaya seakan-akan kuda itu memang ada yang menunggangi, cuma tidak kelihatan.
Selain kuda kosong, juga terdapat gotongan yang di dalamnya dua buah ikatan padi geugeusan (padai gede) yang didandani seperti manusia. Yang satu menyerupai perempuan mengenakan pakaian serbaputih, satu lagi menyerupai laki-laki di beri bajunya serbahitam. Di depannya terdapat sesaji dan parupuyan (tempat membakar kemenyan).
Padi yang mengenakan baju serba putih melambangkan Dewi Sri Pohaci dan yang serba hitam melambangkan Bujang Sarana. Dalam mitologi Sunda, Dewi Sri Pohaci merupakan Dewi Padi, sementara Bujang Sarana melambangkan harta atau uang.
Upacara ritual dilakukan dengan berziarah ke makam para leluhur, menyembelih seekor kerbau yang dibeli dari hasil swadaya masyarakat, dan menyembelih seekor ayam untuk tumbal lembur (penolak bala kampung) di tempat tertentu yang tidak boleh dilihat oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentulah yang menyaksikan penyembelihan ayam beserta upacara ritualnya.
Upacara ngaruat lembur dimeriahkan dengan pementasan wayang golek siang malam. Dalang harus yang sudah memiliki kemampuan ngaruat dan cerita yang diangkatnya pun harus cerita pilihan yang biasa dipakai ngaruat.